
Dibangun pada tahun 1700 M, masjid ini disebut sebagai yang
tertua di wilayah Tangerang.
http://media.vivanews.com/thumbs2/2011/08/10/119470_masjid-jami-kali-pasir--banten_300_225.jpg
Masjid Jami Kalipasir, Tangerang, berada di tengah pemukiman
penduduk keturunan Tionghoa. Memiliki bangunan bercorak etnis China, masjid ini
disebut sebagai yang tertua di wilayah Tangerang, Banten. Letak masjid sendiri
berada di sebelah timur bantaran kali Cisadane. Persis di tengah pemukiman
warga RT: 02/04, Kelurahan Sukasari.
Masjid yang memiliki luas sekitar 16x18 meter persegi itu
dibangun pada tahun 1700 M oleh Tumenggung Pamit Wijaya dari Kahuripan Cirebon.
Dikisahkan, kedatangan Tumenggung Pamit Wijaya dalam rangka syiar Islam dari
Kesultanan Cirebon ke wilayah Banten.
Namun dalam perjalanannya, Tumenggung Pamit, singgah di
Tangerang dan mendirikan sebuah masjid. Uniknya, masjid dibangun bersebelahan
dengan Klenteng Boen Tek Bio yang saat itu sudah berdiri tegak. Klenteng itu
berjarak sekitar 100 meter dari masjid. Walau begitu, kerukunan antara umat tetap
terjaga sampai sekarang.
"Cerita yang sampai pada kami, masjid Kalipasir
dibangun oleh Tumenggung Pamit Wijaya dari Kahuripan Cirebon," kata H. A.
Sjairodji, ketua DKM Masjid Jami Kalipasir saat ditemui VIVAnews.com. Menurut
Sjairodji, mengenai sosok Tumenggung Pamit Wijaya beserta masjidnya belum
tergali secara dalam.
Saat ini, kondisi masjid sudah mengalami banyak perubahan.
Hanya dua sisi arsitektur yang masih tetap utuh dipertahankan. Yakni empat
tiang di dalam masjid dan kubah kecil bermotif China diatas masjid. Tiang
tersebut terbuat dari kayu dan tampak mulai keropos, sehingga harus disanggah
dengan sejumlah besi. Sisi lain yang memperkuat nuansa China adalah dominasi
warna kuning dan hijau dalam bangunan masjid itu.
Dia mengungkapkan, selanjutnya masjid diurus oleh putra
Tumenggung Pamit Wijaya, yakni Raden Uning Wiradilagi Kuripan Bogor, pada tahun
1712. Setelah itu, pada 1740 cucu Tumenggung Pamit Wijaya, Tumenggung Aria
Ramdon menjadi Aria Gerendeng II yang menggantikan Maulana Syarif.
Pada perkembangannya, kepengurusan masjid dilanjutkan oleh
putra Tumenggung Aria Ramdon, yakni Tumanggung Aria Sutadilaga tahun 1780.
"Menurut catatan yang ada, pengangkatan Tumanggung dilakukan dengan cara
biscuit VOC pada 16 Februari 1802-1823. Cara pengangkatan tersebut mirip dengan
pemberian SK pada jaman sekarang ini," terang Sjairodji.
Kemudian berlanjut pada 1830 diurus oleh Raden Aria Idar
Dilaga. Raden Aria ini yang terakhir diangkat dengan cara biscuit gouverneur
general atau komisaris general di Bogor tanggal 14 februari 1827. "Kami
sendiri belum bisa memahami adanya keterangan pengangkatan dengan cara
tersebut," ujarnya.
Namun pada tahun 1865, kepengurusan masjid dilakukan seperti
biasa, oleh putri Idar Dilaga, yakni Nyi Raden Djamrut dan suaminya Raden
Abdullah sampai tahun 1904. Setelah masa itu, putra Nyi Djamrut, yakni Raden
Jasin Judanegara membangun menara dan melakukan rehabilitasi. Kemudian pada
1918, bagian dalam masjid juga dilakukan perbaikan, bukan hanya oleh Jasin
Judanegara, tetapi juga oleh H. Muhibi dan H. Abdul Kadir Banjar.
"Pada 24 April 1959 sampai Agustus 1961, menara lama
diperbaiki dan dirombak selesai pada 1961 hingga sampai sekarang," terang
Sjairodji yang juga masih keturunan H. Abdul Kadir Banjar.
Sejarah yang tidak bisa dilupakan pula adalah kehaditran Hj.
Murtapiah yang mengasuh pesantren perempuan bukan hanya di Tangerang, tetapi
juga Banten dan Jawa Barat. Sampai sekarang, beliau ditokohkan di kawasan
tersebut.
Apa saja kegiatan yang dilakukan di Masjid Jami Kalipasir?
Sjairodji mengungkapkan sama seperti masjid lainnya, sebagai tempat ibadah dan
pengajian. Termasuk juga pada bulan puasa ini. Hanya saja, pada peringatan
Maulid Nabi, warga sekitar membuat perahu besar di kali Cisadane. “Pesan yang
ingin disampaikan adalah mengingat dakwah Islam yang dulu pernah dilakukan
melalui pesisir pantai oleh para mebaligh,” ujarnya.
Post a Comment